Sultan Muhammad Daud Syah
Sultan Muhammad Daud Syah, adalah Sultan terakhir Kerajaan Aceh yang
mungkin tidak banyak yang mengenalnya. Perjuangan beliau yang pantang
menyerah pada penjajah patut dijadikan contoh untuk masyarakat Indonesia
dan masyarakat Aceh khususnya, berikut adalah perjalanan hidupnya yang
saya uraikan secara singkat dari berbagai referensi. Mudah-mudahan
bermanfaat.
Muhammad Daud Syah yang mangkat dalam pembuangan di Pulau Jawa dibuang oleh pemerintah Belanda ke luar Aceh pada 24 Desember 1907, karena dianggap tidak bisa diajak berkerja sama dengan Belanda. Dia bersama keluarga inti diraja yaitu anaknya Tuanku Raja Ibrahim dan Teungku Bungsu serta pengikutnya ke luar Aceh yaitu ke Bandung dan Ambon. Pada tahun 1918 dipindahkan ke Jatinegara, Jakarta, sampai beliau wafat pada hari senin, 6 Februari 1939 dan dimakamkan di Pekuburan Umum Kemiri, Rawamangun, Jakarta. Lokasi pusaranya berdekatan dengan kampus Universitas Negeri Jakarta.
Pada awal 2013, banyak perantau asal tanah rencong ke makamnya walau
untuk sekedar ziarah ataupun sekedar berkunjung saja. Ternyata, tidak
sulit menemukannya walaupun tidak ada tanda yang menunjukkan bahwa di
situ makam Sultan Aceh terakhir ini. Masyarakat sekitar tahu dan
membantu peziarah menunjukkan tempat dimakamkannya. Di pusaranya
tertulis, “Toeankoe Sultan Muhammad Daoed ibnal Marhoem Toeankoe Zainal
Abidin Alaiddin Syah, wafat hari Senen 6 Februari 1939.”
Kehidupan raja Aceh ini tidak seindah dan semewah raja-raja lain di Nusantara yang mengakui keberadaan penjajah kolonial, dimana mereka menerima kemegahan dan status sosial sampai ke
keturunannya kini. Sedangkan Sultan Aceh ini sejak ditabalkan menjadi
raja, hidupnya terus bergerilya dalam hutan-hutan Aceh demi
mempertahankan marwah negerinya sampai beliau ditangkap dan dibuang oleh
Belanda pada 20 Januari 1903 dan meninggal dalam pengasingan, tanpa
pernah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada kaum penjajah dan tidak pernah
dimakzulkan (diturunkan) secara adat Aceh.
Muhammad Daud Syah dilahirkan pada tahun 1871, dua tahun sebelum Belanda menyerang Aceh pada 26 Maret 1873 M. Sejak berusia 7 tahun, dia ditabalkan sebagai Sultan Aceh di Masjid Indrapuri (berlokasi di Kabupaten Aceh Besar) pada hari Kamis, 26
Desember 1878 M, menggantikan Sultan Alaidin Mahmudsyah (1870-1874)
yang meninggal pada 28 Januari 1874, pukul 12.00 siang hari. Menurut
catatan sejarah, Sultan Mahmudsyah wafat karena wabah kolera dan
dimakamkan di Cot Bada Samahani, Aceh Besar. Wabah kolera ini dibawa
oleh Belanda dan ini merupakan penggunaan senjata kimia pertama yang
digunakan oleh penjajah dalam sejarah peradaban dunia. Setelah
pengangkatan Sultan Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Aceh,
pembesar-pembesar Aceh seperti Tuanku Hasyem Banta Muda, Teuku Panglima
Polem Muda Kuala, Teungku Syiek di Tanoh Abee terus menyusun siasat
baru untuk menyerang Belanda di Kuta Raja.
Pada tahun 1880, Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman yang baru
pulang dari Mekkah bergabung dengan Sultan Muhammad Daudsyah dalam
barisan pejuang dan diangkat sebagai menteri peperangan (amirul harb)
menentang Belanda. Peran Tgk Syik di Tiro Muhammad Saman dan
keturunannya sangat besar dalam sejarah Aceh. Belanda sendiri kemudian
menganggap perang Aceh usai pada 3 Desember 1911, sesaat Teugku Maat
Syiek di Tiro syahid di gunung Halimun.
Pada tanggal 26 November 1902, Teungku Putroe Gambo Gadeng bin Tuanku Abdul Majid bersama anaknya Tuanku Raja Ibrahim (6)
disandera oleh Belanda di Gampong Glumpang Payong Pidie. Tujuan
penyanderaan ini agar Sultan Alaidin Muhammad Daud Syah menyerahkan diri
kepada Belanda. Akhirnya setelah bermusyawarah dengan penasihatnya,
Sultan datang dan bertemu dengan Belanda di Sigli. Pada 20 Januari 1903,
Sultan Muhammad Daud Syah dibawa ke Kuta Raja menghadap Gubernur Aceh
Jenderal Van Heutz dengan harapan dia akan mengakui kekuasaan pemerintah
penjajah di Aceh. Tetapi, harapan pembesar Belanda ini tidak menjadi
kenyataan karena dia menolak menandatangani MoU damai dengan Belanda.
Bahkan draf surat damai dirobek oleh Muhammad Daud Syah di pendopo
Jenderal Van Heutz (pendopo/Meuligo Gubernur Aceh sekarang).
Pada 3 Februari 1903, Muhammad Daud Syah diintenir (menjadi tahanan
rumah) di kampung Kedah, Banda Aceh. Dia hanya diperbolehkan bergerak
bebas di sekitar Kuta Raja. Walau Muhammad Daud Syah berada dalam
tahanan rumah, menurut penyelidikan intelijen Belanda, dia masih memberi
sumbangan dan dukungan kepada para pemimpin gerilyawan Aceh. Sultan
memanfaatkan Panglima Nyak Asan dan Nyak Abaih sebagai perantara. Ketika
tempat kediaman Sultan Muhammad Daud Syah digeledah pada Agustus 1907,
ditemukan sejumlah surat milik sultan yang ditujukan kepada para
pejuang. Di samping itu, terjadinya serangan kilat ke markas Belanda di
Kuta Raja pada 6 Maret 1907 malam, secara tidak langsung juga diatur
oleh Sultan Muhammad Daud Syah.
Pengaruhnya yang masih sangat besar terhadap rakyat menyebabkan Gubernur Aceh, Letnan Jenderal Van Daalen mengusulkan Sultan Muhammad Daud Syah dibuang dari Aceh. Maka pada 24
Desember 1907, Belanda membuang Sultan Muhammad Daud Syah, istri, dan
anaknya Tuanku Raja Ibrahim, serta Tuanku Husin, Tuanku Johan Lampaseh,
pejabat Panglima Sagi Mukim XXVI, Keuchik Syekh dan Nyak Abas ke Batavia
dan menetap di Jatinegara (sekarang Gudang Bulog).
Di Batavia, Sultan Muhammad Daud Syah terus mengadakan hubungan luar negeri termasuk menyurati Kaisar Jepang untuk membantu Kerajaan Aceh guna melawan Belanda. Surat itu sekarang didokumentasikan dengan baik oleh cucunya, Tuanku Raja Yusuf bin Tuanku Raja Ibrahim. Salah satu surat bunyinya sebagai berikut:
“Barang diwasilkan Tuhan Seru Semesta Alam ini, mari menghadap ke hadapan Majelis sahabat beta Raja Jepun yang
bernama Mikado. Ihwal, beta permaklumkan surat ini ke bawah Majelis
sahabat beta, agar boleh bersahabat dengan beta selama-lamanya, karena
beta ini telah dianiaya oleh orang Belanda serta sekalian orang kulit
putih. Bila beta berperang, belanja makan minum Belanda ditolong oleh
orang Inggeris. Kepada beta seorang saja pun tiada yang menolong itu pun
beta melawan sampai 30 tahun. Jika boleh sahabat bagi, mari kapal
sahabat beta empat buah. Yang di darat, beta perhabiskan Belanda ini.”
Surat ini bocor ke tangan Belanda, lalu sultan beserta keluarga diasingkan ke Ambon. Pada tahun 1918, sultan dipindahkan kembali ke Rawamangun, Jakarta, sampai beliau menghembuskan nafas
terakhir pada 6 Februari 1939. Menurut info yang saya terima dari teman
saya yang pernah mengunjungi makamnya, kondisi makamnya sangat
menyedihkan. Tidak tampak bahwa di situ terbaring seorang pejuang yang tak pernah kenal menyerah demi membela nasib agama dan bangsanya.
Membaca ulang sejarah Sultan Muhammad Daud Syah ini memang
menyedihkan. Sultan rela meninggalkan istana untuk berjuang. Adapun saat
ini, suasananya memang sudah berubah. Istana menjadi incaran kita
semua. Kisah keluarga sultan dan bagaimana hubungan baik mereka dengan
para ulama tentu dapat menjadi i’tibar bagi pemimpin saat ini. Kepahitan
perjuangan mereka telah kita nikmati hasilnya hari ini.
Kisah perjuangan Sultan dan Ulama Aceh tersebut masih tercatat dengan
tinta emas dalam lembaran sejarah perjuangan bangsa Aceh, walaupun kisah
tersebut sudah mulai hilang dalam ingatan generasi kini. Kisah
perjuangan Sultan Muhammad Daud Syah ini saya angkat agar dapat dihayati
oleh generasi penerus Aceh. Selain itu, kita juga berharap pemimpin
Aceh hari ini mampu mengambil i’tibar dari perjuangan endatu Aceh.
Melihat situasi Aceh hari ini, i’tibar dan hikmah perjuangan tersebut
ternyata belum mampu
dilihat secara nyata.
dilihat secara nyata.
Raja Aceh telah meninggalkan masyarakat Aceh dengan warisan pantang
menyerahnya, namun semangat dan nilai perjuangan beliau masih dapat kita
rasakan. Bagaimana dengan pemimpin Aceh hari ini? Wallahualam Bi Sawab,
kita masih harus menunggu jalannya pemerintahan baru yang mudah-mudahan
akan membuat Aceh berjaya seperti di zaman keemasannya dahulu.
di copy dari http://jogalid.wordpress.com/2013/02/25/sultan-muhammad-daud-syah-raja-terakhir-aceh/
0 comments:
Post a Comment